Anak yang Bekerja dan Pekerja Anak


Sebagai warga negara yang baik kita harus peduli mengenai aset negara yang mungkin paling berharga bagi dan menentukan nasib masa depan bangsa yaitu anak. Itulah sebabnya negara memberikan perlindungan hukum yang cukup—bahkan dalam standar internasional—kepada aset negara yang tak ternilai ini.  Tetapi perlindungan semacam itu sulit dilakukan jika anak berada dalam pasar kerja baik sebagai ‘anak yang bekerja’ maupun ‘pekerja anak’.

Pada pertengahan tahun 2009 total anak pada kelompok umur 5-17 tahun diperkirakan mencapai 58.8 juta jiwa atau hamir sekitar  25% dari total penduduk. Tetapi yang menjadi fokus keperhatinan global, regional maupun nasional adalah pekerja anak, bukan anak yang bekerja secara keseluruhan. Menurut SPA,  total pekerja anak mencapai angka sekitar 1.8 juta jiwa, setara dengan 3.0 % dari total anak 5-17 tahun atau 43.3% dari total  anak yang bekerja.

[Lanjut]

5 thoughts on “Anak yang Bekerja dan Pekerja Anak

  1. Sebagai negara yang “peduli” terhadap anak, rupanya masih sekedar menjadi retorika dan cenderung digunakan untuk kepentingan (baca: senjata) politik, yang sewaktu-waktu dapat digunakan untuk menyerang lawan politik.

    Coba saja lihat, sudah berapa banyak produk kebijakan, baik undang-undang maupun peraturan pemerintah. Lihat juga perkembangan anak yang bekerja maupun pekerja anak, dari tahun ke tahun nyaris tidak terjadi perubahan yang signifikan. (Indonesia termasuk negara yang paling rajin meratifikasi konvensi PBB).

    Terlepas dari itu, gerakan untuk mengurangi pekerja anak sepertinya kita harus dimulai dari diri kita. Dengan cara yang cukup realistis, yaitu dengan melihat tetangga kiri-kanan kita, adakah anak yang tidak sekolah dan sebagai pekerja anak. disitulah kita berperan dengan kapasitas dan kemampuan sendiri. Karena disadari atau tidak, kebijakan untuk mengerangi pekerja anak, dana yang besar lebih banyak terserap bukan kepada sasaran, tetapi pada pelaksanan kegiatan.

    Mudah-mudahan tahun 2022, Indonesia bebas pekerja anak.

    Mulai dari sekarang, mulai dari yang kecil, mulai dari yang terdekat.

    Selamat dan sukses Pak Uzair.
    Pasti lagi sibuk ya, terbukti sudah mulai produktif nih tulisannya. (karena biasanya makin sibuk justru malah makin produktif)

    Like

  2. Thanks for the comment. Iya ni, lagi lumayan sibuk. Jum’at baru pulang worshop intama; sorenya ngerjain editan Buku Laporan SPA Berbahasa Indonesia, sampai Sabtu siang. Mulai Sabtu siang ya garap artikel ini.

    Walaupun ‘sekedar’ retorika politik, itu sudah bagus lho; sudah menunjukkan dan menarik perhatian. Lagi, tidak semua politikus dan petinggi negara tercela. Iya nggak.

    Roni benar; semuanya harus mulai dari sendiri. Tetapi urusan orang banyak menjadi tugas kolektif; khusunya negara. Lagi, pada tingkat keluarga, seperti saya kemukakan, ‘kemiskinan akan memaksa orang tua melihat anak lebih sebagai aset ekonomi’—pekerja anak jadi susah dicegah. Disinilah perlunya komitemn politik negara. Teoritis ya.

    OK thanks anyway. Salam

    Like

  3. Bukan main! Saya baru saja melihat suatu tulisan mengenai pekerja anak dan statistik. Biasanya yang saya lihat tulisan itu dikembangkan oleh orang luar. Makanya, cek deh. Mungkin tulisan ini merupakan tulisan pekerja anak dan statistik Indonesia pertama yang dikembangkan oleh individu dalam blog mereka.

    Yang memang harus dilihat adalah soal term child labour; child worker; child in employment; dan working children. Juga, ada istilah lain yaitu worst forms of child labour (seperti yang menjadi catatan kaki kedua dari tulisan Pak Uzair).

    Pada dasarnya term child labour tidak diartikan secara seragam oleh banyak negara. Terjemahan pertama merujuk pada individu (si anak). Karenanya, term itu diartikan sebagai pekerja anak. Arti ini didasari oleh bahwa yang harus dilindungi adalah si anak. Dan, pengartian ini menjadi dasar bagi pentingnya perlindungan bagi anak-anak agar tidak masuk pada isu ini.

    Pada umumnya, negara-negara Timur Tengah dan Asia mengartikan child labour dengan pekerja anak. Sama dengan child worker.

    Namun, Negara-negara di luar itu menggunakan child labour dengan pengertian perburuhan anak. Sebab, labour bukanlah menunjuk pada orang, tetapi pada bentuk kerja itu sendiri. Labour menunjuk pada konsep benda, yaitu kerja atau perburuhan atau ketenagakerjaan. Sementara, konsep bagi pelaku disandarkan pada pekerjaan.

    Child in employment adalah term yang coba diperkenalkan oleh SIMPOC, sub unit statistic dari IPEC. Ini merupakan unit, meminjam istilah Pak Uzair, yang bertugas mengadvokasi warga dunia untuk menghapuskan pekerja anak. Child in employment mencoba mengadopsi term yang biasa dipergunakan dalam Standard National Account (SNA).

    Dan, yang terakhir, working children. Istilah ini didefinisikan sebagai anak yang bekerja, yang tidak bekerja pada pekerjaan yang berat dan terlarang yang mengganggu perkembangan moral, kesehatan, dan keselamatan anak. Sementara, worst forms of child labour (WFCL) diartikan sebagai bentuk-bentuk terburuk perburuhan anak.

    Di Indonesia, pemerintah kita menggunakan istilah pekerja anak untuk child labour; dan WFCL diartikan sebagai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Dalam konteks ini, terlihat ada kebingungan dan inkonsistensi dalam penggunaan peristilahan.

    Kebingungan ini terlihat pada penerjemahan kedua term itu. Namun, secara kontekstual, term ini jelas sangat didasari oleh situasi dan kondisi pada masa lalu yang sulit untuk menerima makna atau kata ”buruh”. Kedua, kalau diartikan perburuhan, maka justru Indonesia akan diklaim sebagai negara yang menganut sistem perburuhan untuk anak. Dan, mungkin yang ketiga, banyak orang (Indonesia) bilang kalau labour dalam bahasa Inggris artinya buruh. Jadi, di sini term child labour diartikan menunjuk orang.

    Selanjutnya, dengan hal di atas, kita meyakini Negara mau mengatakan dan mengakui bahwa Negara melindungi anak. Anak harus tidak boleh menjadi korban. Ini diperlihatkan dengan digunakannya konsep ”pekerja anak” untuk menjelaskan ”child labour”.

    Sayangnya, pemerintah tak secara konsisten menggunakan term ini. Justru pada produk hukum berikut, yang muncul adalah bentuk pekerjaan terburuk untuk anak (WFCL). Kalau mau konsisten, mengapa tidak diartikan atau menggunakan: bentuk terburuk pekerja anak? Di sini kemudian jelas terjadi perubahan pola pikir para pengambil keputusan ketika itu yang lebih melihat bahwa titik berat masalahnya adalah pada pekerjaan (lihat UU No. 1 Tahun 2000 dan Keppres 59 Tahun 2002).

    Ketidakkonsistenan muncul lagi. Dalam UU 23 Tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak, BPTA dan pekerja anak tak muncul sebagai konsep atau pun tertuang dalam definisi (biasanya pasal 1). Justru ada istilah ”baru” yaitu anak tereksploitasi secara ekonomi. Tak sulit karena UU ini jelas mencoba mengadopsi segala hal yang ada dalam Konvensi PBB mengenai Hak-hak Anak.

    Lagi, ketidakkonsistenan muncul. Kali ini pada UU No. 13 Tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan. UU ini justru memunculkan kembali istilah ”Pekerja Anak” dan ”BPTA”.

    Buat saya, kembali saja ke posisi awal dimana labour harus diartikan sebagai perburuhan atau ketenagakerjaan. Dengan arti kata ini, ada banyak keuntungan yang sudah saya bayangkan.

    Pertama, setiap orang akan sejak awal merasa bahwa ada masalah mengenai ini. Sebab, anak tidaklah boleh berada dalam sistem perburuhan. Dia harus berada dalam sistem yang memang menjadi haknya: pendidikan; pengasuhan; perlindungan; dan perkembangan manusia dan lain-lain.

    Kedua, setiap orang tidak akan sulit membedakan mana pekerjaan yang dilarang dan diperbolehkan. Selama ini orang sering menyamaratakan bahwa menyapu di rumah pada sore hari saja atau sore dan pagi hari saja untuk seorang anak (laki atau perempuan) berusia 8 tahun merupakan hal yang dilarang oleh UU. Padahal, kasus semacam ini tidaklah menjadi unsur yang dibicarakan oleh UU atau peraturan itu, termasuk oleh Konvensi PBB dan Konvensi ILO.

    Ketiga, akan berkurang jumlah orang yang berbohong di Indonesia. Selama ini banyak orang dewasa berdalih bahwa apa yang dilakukan oleh anak adalah membantu orang tua; atau belajar bekerja; atau iseng belaka daripada main dan berbuat tak keruan dan amoral; dan lain-lain. Dengan perubahan arti dari term ini, orang tak bisa berkelit. Karena term perburuhan selalu mengenal tiga hal prinsip: upah, perintah, dan kerja yang terkait erat dengan added value secara ekonomi. Bila ada salah satu dari tiga prinsip tersebut, akan ada added value yang diperoleh, dan itu artinya ada sistem perburuhan yang sedang berlangsung. Dan, itu tak bisa lagi didalihkan meski upah atau perintah atau kerja itu datang dari orang tua.

    Keempat, banyak rujukan yang bagus dalam konteks child labour sudah tersedia. Dan, rujukan tersebut jelas-jelas mencerminkan child labour sebagai sistem perburuhan. Dengan demikian, kita tinggal sedikit mengadopsinya sambil menambahkan hal-hal yang sesuai dengan situasi Indonesia.

    Kelima, saya andaikan APBN pun akan senantiasa menyiapkan banyak dana untuk segala hal terkait pekerja anak. Dengan demikian Pak Uzair/Pak Aden, dkk serta saya dkk di sini dapat lebih meluangkan waktu untuk menjelaskan dan menganalisis update situasi terakhir dan mengembangkan argumen untuk menilai keberhasilan Indonesia di masa mendatang, khususnya tahun 2022, ketimbang harus direpotkan dengan pencarian dana.

    Terima kasih, Pak Uzair. Bravo and Ciao,

    Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.