Published by Uzair Suhaimi
Statistics and religion. This is perhaps an unusual combination for many. The first is dealing with the empirical world, the second with that beyond that world. However, that is my reflection regarding myself.
As a statistician, I spent 30 years (1981-2011) serving BPS-Statistics Indonesia. After that my professional services were dedicated to TNP2K office (an office under the vice president office) for a few months and to ILO-ROAP as a senior statistician for half a year. Since 2012 most of my time is dedicated as an independent consultant on statistics-related work, mostly for ILO and on some occasions for some government offices Indonesia. My recent work (2019) was on estimating child labour in Indonesia for ILO Country Office Jakarta.
As for personal interest, since young, I've been fascinated with the basic principles of religious thought, especially on its esoteric dimensions, essentiality, and universality. Sufism and perennial philosophy are of my special interest. On this subject, I have posted a number of short articles in my personal blog: https://uzairsuhaimi.blog.
View all posts by Uzair Suhaimi
Bertitik tolak dari hadis-hadis Nabi Saw, yakni akhlak sebagai kelakuan tentunya sangat beragam. Firman Allah berikut dapat menjadi salah satu argumen keanekaragaman.
Sesungguhnya usaha kamu (hai manusia) pasti amat beragam. QS Al-Lail. 92:4
Keanekaragaman tersebut dapat ditinjau dari berbagai sudut, antara lain kelakuan yang berkaitan dengan baik dan buruk, serta dari obyeknya, yakni kepada siapa kelakuan itu ditujukan. Menurut pendapat para ahli sufi bahwa manusia terdiri atas tiga unsur yang tidak terpisahkan:jism (tubuh), jiwa (nafs), dan ruh. Ruh cenderung rindu kepada Tuhan, sedangkan jiwa (nafs) mempunyai potensi untuk berbuat kebaikan dan kejahatan. Meski demikian, menurut Al-Ghazali bahwa jiwa itu bersifat ilahi, sehingga ia cenderung pada kebaikan dan enggan pada kekejian. Saya sependapat dengan p Uzair bahwa Memperbaiki atau merektifikasi karakter itu perlu karena karakter manusia ‘belum final’.
Dalam usaha memperbaiki karakter kita dapat mendalami makna nama Allah yang berjumlah 99 nama (HR Turmidzi dan Ibn Hibban). Asma Allah itu hendaknya tidak cukup diingat/diucapkan tetapi kita harus melangkah lebih jauh lagi, yakni membuat ‘pencitraan positif’. Karena dalam sifat manusia itu terdapat kekuatan dahsyat dan misterius yang sanggup membawa peningkatan kedalam kehidupan kita. Stephen R. Covey ( dalam Al-Kumayi, 2005) dalam catatan pribadi mengemukakan: “Saya percaya bahwa ada bagian dari sifat manusia yang tidak dapat dicapai melalui undang-undang atau pendidikan, tetapi memerlukan kekuatan Tuhan untuk mengatasinya. Saya percaya bahwa sebagai manusia, kita tidak dapat menyempurnakan diri kita sendiri, sampai tingkat dimana kita menyelaraskan diri kita dengan prinsip-prinsip yang benar. Anugerah ilahi akan diserahkan pada sifat kita sehingga memungkinkan kita memenuhi ukuran ciptaan kita.”
Pak Uzair mungkin itu komentar dari saya yang saya rangkum dari berbagai sumber.
LikeLike