Pertumbuhan Tak-Berkualitas


Petumbuhan tak-berkualitas  dapat diukur antara lain dari daya ungkitnya terhadap perluasan lapangan kerja. Tanpa daya ungkit ini pertumbuhan menjadi jobless, tak-berkualitas. Bangka Belitung, Gorontalo, Jakarta, Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tenggara, masing-masing merupakan contoh kasus yang ideal dalam arti memiliki pertumbuhan  tinggi dan tidak jobless. Sebaliknya, Jambi dan Sumatera Utara merupakan contoh kasus yang memiliki pertumbuhan tak-berkualitas jobless. Dua propinsi ini, dalam skala nasional, memiliki angka pertmbuhan yang relatif tinggi tetapi angka pertumbuhan tenaga kerjanya relatif rendah.

 [Lanjut}

5 thoughts on “Pertumbuhan Tak-Berkualitas

  1. Menyimak kata “pertumbuhan”. Banyak pakar yang melihatnya secara parsial. Seperti yang ditulis saat ini (pertumbuhan ekonomi dan tenaga kerja), memang sungguh bermanfaat sebagai salah satu indikator.
    Saya koq merasakan kurang “ekologis”, kenapa? Karena pembangunan di Indonesia belum sepenuhnya pada pembangunan yang berfokus pada manusia. Sehingga salah satu indikator bagus, tetapi pada indikator yang lain jelek.
    Tetapi sebagai tulisan sederhana, saya menilai sangat bagus, walau ada kekhawatiran menjadi justifikasi atau pengambilan kebijakan bagi pihak yg kurang lengkap dalam pemahaman mengenai sebuah indikator.

    Sukses P’Uzair dan juga SP 2010 nya.

    Like

  2. Pak Uzair, sebagai indicator, ukuran pertumbuhan ekonomi dan ketenagakerjaan per propinsi sudah cukup memadai sebagai dasar untuk merumuskan strategi pertumbuhan yang lebih ‘ramah’ terhadap tenaga kerja (employment-friendly growth). Akan lebih berarti lagi apabila disertai kajian kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan per propini. Misalnya saja Propinsi Gorontalo mengapa tinggi di pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenagakerjanya. Apakah karena kebijakan dari Fadel Muhammad ketika menjabat Gubernur dalam menata tataniaga pertanian jagung sehingga struktur PDRB untuk Gorontalo tinggi di sector pertanian. Tentunya ini diperlukan waktu khusus untuk menelaahnya. Demikian juga untuk propinsi-propinsi lainnya. Dengan demikian ada masukan bagi pembuat kebijakan.

    Saya menganggap ini penting karena sekitar 60 % penduduk Indonesia masih bekerja di sector informal (sector Tradisional). Pada tulisan sebelumnya pak Uzair telah menelah tentang pemerataan (Tingkat Kemakmuran dan Keadilan), nah pas banget bila dikaitkan dengan pertumbuhan. Analisa lain yang menarik adalah dari pengalaman saat terjadi krisis ekonomi dimana keterkaitan dari sektor modern dengan sektor tradisional sangat kecil. Krisis ekonomi dunia yang berpengaruh besar terhadap sektor modern ternyata hampir tidak berpengaruh pada aktivitas sektor tradisional. Malah mungkin keterbatasan lapangan kerja pada sektor modern yang terjadi bersamaan dengan perkembangan sektor tradisional, mengundang mendorong pergeseran resources (tenaga kerja dan dana) dari sektor modern ke sektor tradisional dan memacu pertumbuhan sektor tradisional lebih besar lagi.

    Like

  3. TK komentarnya ya. You points many important issues to think about. Tetapi Pak Joko kan kenali saya: misi saya sekedar mendorong baling-baling pikiran dan instusi intelektua-spiritual pembaca agar mulai bergerak. Kalau sudah bergerak, ya ‘selanjutnya’ tugas orang lain termasuk Pak Joko. Iya nggak?

    Few words about policy. Hemat saya nggak cerdas deh kalau arahnya mendorong sektor informal atau tdaisional. Sektor ini ‘kan tidak produktif padahal — pada analisis akhir— yang penting kenaikan ekonomi rumahtangga. In other words, ‘ramah’ ketenagakerjaan tidak identik dengan mempertahankan sektor tradisional. In the long run, model ramah ketenagakerjaan harus sejalan dengan transformasi tenaga kerja ke sektor formal yang lebih produktif. Agree? Salam

    Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.