Sabar: Makna, Konteks dan Arti Penting

Sabar adalah salah satu kebajikan yang paling penting. Karena pentingnya ini maka tidak mengherankan jika sejak dulu banyak cendikiawan yang mengemukakan perkara sabar dalam bentuk maksim (maxim) atau pernyataan singkat-padat tetapi mendalam mengenai suatu kebenaran umum atau perilaku hidup. Berikut adalah tiga contoh maksim yang dimaksud[1]: (1) “Kesabaran itu pahit, tapi buahnya manis” (Aristotle), (2) “Kesabaran adalah kebajikan yang menaklukkan”, (Geoffrey Chaucer); dan (3) “Dia yang dapat memiliki kesabaran dapat memiliki apa yang dia kehendaki” (Benjamin Franklin).

Makna Sabar dan Konteks Penerapannya

Sabar dipahami secara umum sebagai kapasitas untuk menerima keadaan yang tidak diinginkan. Menurut satu kamus[2], kata sabar (patient, kata sifat) adalah: (1) kemampuan untuk menunggu lama tanpa merasa kesal atau marah, (2) Kemampuan untuk tetap tenang dan tidak menjadi jengkel saat berhadapan dengan masalah atau dengan orang yang sulit; dan (3) kemampuan untuk memberi perhatian pada sesuatu untuk waktu yang lama tanpa menjadi bosan atau kehilangan minat.

Walaupun definisi ini digunakan secara luas, kita perlu membubuhkan dua catatan. Pertama, definisi ini terkesan berkonotasi pasif dan “menyembunyikan” sisi aktif dan positif dari kata sabar. Kesan aktif dan positif ini dapat dicermati, misalnya, dalam satu Thesaurus[3] yang mengkaitkan kata sabar dengan kemampuan menahan diri (forbearance), ketabahan (fortitude), daya tahan (endurance), gigih (persevering) dan tekun (persistence). Kedua, definisi ini mengesankan bahwa kata sabar hanya dinisbahkan (dikaitkan) pada “keadaan yang tidak diingingkan”. Cara pandang ini menyempitkan konteks makna sabar karena kita dapat mengatakan secara sah, misalnya, “sabar dalam menerima warisan harta karun orang tua”. Menerima warisan harta karun jelas bukan keadaan yang tidak diinginkan. Kata sabar dalam contoh ini dapat diganti dengan menahan diri untuk tidak menghamburkan harta kekayaan dan hal ini sesuai dengan makna dasar sabar dalam Bahasa Arab (shabara, yashbiru) yang berarti menahan, tanpa mengkaitkannya dengan “keadaan yang tidak diinginkan”.

Bacaan terhadap sejumlah nash (ayat Al-Qur’an) yang relevan mengindikasikan bahwa kata sabar dapat dikaitkan dengan hampir semua vokasi manusia (human vocation). Dalam satu nash kita dapat menemukan, sebagai ilustrasi, perintah bersabar dalam kehidupan beragama secara umum (QS Maryam:65). Dalam surat yang sama kita juga menemukan kata sabar dalam kaitannya dengan doa Nabi Zakariya AS yang memohon keturunan dengan kesabaran luar biasa (walaupun kata sabar tidak secara eksplisit digunakan):

  1. KAF HA YA ‘AIIN SHAD
  2. (Yang dibacakan itu adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhanmu kepada hamba-Nya Zakariya.
  3. (yaitu) ketika dia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut.
  4. Dia (Zakariya) berkata, “Ya Tuhanku, sungguh tulangku telah lemah dan kepalaku telah dipenuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, ya Tuhanku.
  5. Dan sungguh aku khawatir terhadap kerabatku sepeninggalku, padahal isteriku seorang yang mandul, maka anugerahilah aku seorang anak dari sisi-Mu.
  6. Yang akan mewarisi aku dan mewarisi dari keluarga Yakub, dan jadikanlah dia, ya Tuhanku, seorang yang diridai (QS Maryam:1-6).

Kata belum pernah kecewa dalam ayat ke-4 (digarisbawahi) jelas semakna dengan sabar dalam pengertian umum.

Arti Penting Sabar

Bahwa sabar merupakan suatu kebajikan penting dapat dilihat fakta qurani (bebasis nash) bahwa Rasul SAW yang sudah memiliki jejak rekam kesabaran luar biasa sejak kanak-kanan masih diperintahkan untuk bersabar sebagaimana halnya dengan ulul azmi (QS Al-Ahqaq:35). Sebagai catatan, istilah ulul azmi merupakan gelar khusus bagi Rasul pilihan yang mempunyai ketabahan atau kesabaran yang luar biasa: Nuh AS, Ibrahim AS, Musa AS, Isa Ibn Maryam AS, dan Muhammad SAW (QS Asy-Sura:13).

Pentingnya sabar juga dilihat dari dokumentasi nash mengenai nasehat Luqman al-Hakiim kepada anaknya:

“Wahai anakku! Laksanakanlah salat dan suruhlah (menusia) berbuat makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang meinmpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting” QS Luqman:17).

Lukman adalah sosok manusia luar biasa yang sekali pun tidak tergolong nabi tetapi namanya dibadaikan sebagai satu nama Surat Al-Qur’an dan nasehat-nasehat kepada anaknya diabadikan dalam nash[4]. Nasehatnya tidak hanya mengenai sabar (ayat 17), tetapi juga mengenai syirik (13), berbuat ihsan kepada orang tua (14-15), pengawasan Rabb yang cermat (16), sombong (18), serta berjalan dengan sikap rendah hati dan berbicara lembut (19). Semua perkara ini sangat penting (buktinya tercantum dalam nashi) sehingga seyogyanya menjadi perhatian keluarga muslim, atau paling tidak, menjadi materi pokok pendidikan (bukan hanya pengajaran) tunas-tunas muslim di lembaga-lembaga pendidikan, khususnya yang berlabelkan Islam. Pertanyaan retrospektif: Sudahkah?

Surat al-Baqarah (121-127, 153-155) mengilustrasikan bahwa sabar sama-sekali tidak dapat dianggap enteng dalam kaitannya dengan keberhasilan atau kegagalan suatu upaya manusiawi. Nash ini mengisyaratkan bahwa sabar merupakan faktor kunci (tentunya di luar ketatapan-Nya yang mutlak) keberhasilan Perang Badar dan kekalahan Perang Uhud, dua peperangan yang sangat menentukan bagi kelangsungan hidup cikal-bakal komunitas muslim. Wallahu’alam. Mengenai Perang Uhud dikisahkan bahwa kegagalannya terkait dengan ke-tidak-sabar-an sebagian pasukan Rasul SAW (pasukan pemanah) dalam memperebutkan harta rampasan perang padahal pertempuran masih berlangsung.

Rujukan Lebih Lanjut

Uraian terdahulu menunjukkan banyaknya nash yang terkait dengannya tetapi itu baru sebagian kecil. Menurut Imam Ahmad[5], secara keseluruhan Al-Qur’an mencantumkan 90 ayat mengenai sabar yang diletakkan dalam berbagai konteks. Dalam kaitan ini kita berhutang budi kepada Ibn al Qayyim RA yang telah mengkompilasi secara sistematis ayat sabar sebagaimana disajikan dalam Daftar berikut. Semoga kita dianugerahi kemauan untuk mengambil manfaat darinya….@

[1] Goodreads quotes.

[2] Merriam-Webster’s Advanced Learner’s English Dictionary

[3] Webster’s Pocket Thesaus of the English Language (2002)

[4] Kedudukan yang serupa berlaku pada Imran RA, keluarga yang melahirkan Ibunda Maryam AS, Ibunda Isa AS.

[5] https://istighfar.wordpress.com/allah-has-mentioned-it-90-times/

Gambar: Google, An-Nahl 126 (… wa lain shabartum lahua kahirul lishaabirin)

 

Legowo: Pendalaman Makna

Kata legowo (istilah halus: legawa) berasal dari bahasa Jawa yang berarti sikap batin tertentu untuk menerima satu keadaan dengan lapang dada. Apa yang perlu segera dicatat adalah bahwa legowo adalah suatu pilihan: menerima atau menolak, menerima dalam satu cara, atau dengan cara lain yang bertentangan. Mengenai definisi legowo, pernyataan Ade Ilyasi berikut dapat dirujuk[1]:

Legowo. Bisa menerima apa yang berlaku pada dirinya dengan sabar, ikhlas dan pasrah. Sabar, tidak mengeluh atas cobaan yang ada. Ikhlas, lapang dada menerima cobaan tanpa rasa emosi atau dendam. Pasrah, semua akan di serahkan kepada sang pencipta karena semua ada hikmahnya.

Paling tidak ada dua catatan mengenai definisi di atas. Pertama, kata legowo mengandung tiga unsur yang masing-masing mencerminkan suatu kebajikan spiritual tertentu: kesabaran, ketulusan dan pasrah. Ini jelas menyiratkan makna mendalam dari kata legowo dan pada saat yang sama menunjukkan sifat ekspresif bahasa Jawa. Kedua, dalam “definisi” di atas kata legowo lebih mengarah pada sifat pasif dan hanya terkait dengan cobaan.

Pertanyaannya adalah apakah kata itu dapat juga digunakan untuk mengekspresikan suatu sikap yang lebih aktif; misalnya, sebagai kesiapan-diri untuk mengambil risiko dari tindakan atau keputusan yang diambil sadar dan intensional. Jika jawabannya “ya” maka kata legowo dapat diterapkan dalam konteks yang lebih luas; termasuk misalnya, dalam kehidupan beragama. Dengan demikian, frasa “kehidupan beragama dengan legowo”, misalnya, dapat diartikan sebagai sikap, perilaku atau praktik agama yang disertai unsur kesabaran, ketulusan atau keikhlasan dan tawakal atau berserah-diri:

  • sabar dalam menjalankan perintah agama dan meninggalkan larangannya,
  • tulus dalam memasang niat beragama, dan
  • tawakal dalam menerima takdir Tuhan.

Beragama secara legowo dalam pengertian ini sejalan dengan ajaran qurani, ajaran berbasis otoritas tertinggi dalam Islam, Al-Quran:

(Dialah) Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan segala apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan bersabarlah dalam beribadah kepada-Nya (Quran 19: 65).

Padahal mereka (ahli Kitab: Umat Yahudi dan Umat Nasrani) hanya diperintah menyembah Allah, dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama (Quran 98:5).

dan bertakwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah hendaknya orang-orang beriman bertawakal” (Quran 5:11).

Untuk mengeksplorasi makna Legowo lebih lanjut  kita dapat mengambil kasus menarik terkait dengan pemilihan Gubernur Jakarta yang lalu. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk memberikan penilaian atas kasus tersebut; sebaliknya, tulisan ini hanya tertarik pada pemberitaan mengeai reaksi salah satu kandidat dalam menanggapi hasil pemilihan. Liputan media dalam kasus ini beragam tetapi berita utamanya dapat dirumuskan dalam kalimat singkat: “Ahok menerima kekalahannya dengan legowo, mengucapkan selamat kepada pemenang, dan menyebutkan kekalahannya sebagai kehendak Tuhan”.

Dalam kalimat itu dapat “dirasakan” hubungan-senafas antara legowo, pengakuan akan kelebihan pihak lain, dan ketetapan takdir. Dalam kalimat itu juga dapat “dirasakan” adanya unsur rendah hati (Inggris: humble, humility) dalam kata legowo. Sukar membayangkan sikap legowo dari orang yang tidak memiliki sikap rendah hati.

Rendah hati adalah salah satu matra kebajikan (Inggris: virtue, Arab: birr)[2] yang lebih mudah dipahami dari lawan katanya yaitu tinggi hati (Arab: takkbur, Inggris: pride). Istilah terakhir ini dikenal luas oleh umat beragama sebagai suatu sikap batin yang dianggap sebagai sumber, akar atau induk semua keburukan.

Sebagai kesimpulan, empat pernyataan berikut patut ditegaskan kembali:

  • Legowo adalah sikap batin untuk menerima situasi- betapa pun menyakitkan– dengan sabar, tulus dan pasrah;
  • Legowo mencerminkan kesiapan diri dalam menerima risiko dari tindakan yang dilakukan secara sadar dan bertanggung jawab;
  • Legowo adalah sikap batin yang sulit dibayangkan datang dari mereka yang kurang memiliki sikap rendah hati; dan
  • Legowo adalah suatu pilihan.

Pernyataan terakhir mengandung arti bahwa kita dapat menerima suatu peristiwa i yang telah terjadi atau menolaknya (dan ini mustahil), menerimanya dengan sabar atau tulus, atau dengan cara lain. Yang pasti, ada ketentuan takdir sebagaimana diungkapkan dengan padat dan indah dalam aforisme ketiga dari Al-Hikam:

Sensasi semangat tidak akan mampu menembus benteng takdir.

Mengenai aforisme ini, komentar Syekh Fadhallah berikut layak disisipkan di sini [3] untuk mengakhiri artikel ini:

Tak berguna! Bagaimanapun banyak energi yang Anda curahkan untuk maksud atau tujuan, itu tetap tidak akan tercapai jika tidak sesuai dengan keputusan Tuhan. Anda tidak akan memenangkan kehendak Anda di atas kehendak-Nya, yang telah menetapkan sifat yang terlihat dan tidak terlihat, dan menentukan nasib kita semua.

Demikianlah kedalaman makana spiritual kata legowo dalam konteksnya yang luas  …. @

[1] https://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20120707193759AA3FrcK

[2] Lihat: https://uzairsuhaimi.blog/2016/10/22/dimensi-kebajikan/ dan https://uzairsuhaimi.blog/2016/01/01/rendah-hati/.

[3] Ibn Atthaillah, Al-Hikam, yang disertai ulasan Sech Fadhalla, Jakarta: Mandiri Abadi (2003).

 

Versi pdf (tanpa audio) dapat diakses di  https://drive.google.com/open?id=1FkcK9G-tDzXadsZxqpBc9p3qaIqaMuVG