Dialog 4: Musuh
[Sang murid merasa aneh-ganda. Pertama, masternya tampak murung padahal biasanya riang. Kedua, kemurungan itu muncul justru ketika masternya baru saja dianugerahi anak yang telah lama didambakannya. Perasaan aneh ini membuat Murid berani bertanya.]
Murid: Master tampak murung. Boleh tahu kenapa?
[Master tak bergeming; sang murid termangu. Tidak memperoleh jawaban, sang murid alih-alih mendengar bacaan-tartil dari Master yang masih terpejam. “Ah Surat 64 Ayat 14”, bisik sang murid dalam hati.]
Murid: Maaf, apakah Master khawatir si anak kelak akan menjadi musuh Master?
[Murid menduga demikian berdasarkan ayat yang baru saja diperdengarkan. Mendengar “tuduhan” ini Master menatap sang murid serius.]
Rumi:
(1) Apakah Antum tahu cerita Jenderal A yang pernah mengomandoi selaksa bala tentara kehkahlifahan? Ia jatuh karena ulah anaknya melindungi bandar narkoba;
(2) Apakah Antum tahu kisah Wazir B yang pernah mengdalikan kekuasaan birokrasi kekhalifahan? Ia terpuruk karena anaknya terbukti sering memalaki sejumlah kementerian-gemuk;
(3) Antum tahu konlomerat C yang sedemikain kaya sehingga kekuasaan uangnya dapat membeli kasus hukum untuk kepentingan jaringan bisnisnya?
Murid: Saya tahu sedikit-sedikit, Master. Bagaimana dengan pengusaha C? Apa yang terjadi?
Rumi: Ia dihukum pancung karena melindungi anak-tunggalnya yang terbukti telah menjual rahasia negara yang sangat sensitif, juga sering kedapatan bermain mata dengan beberapa selir khalifah.
[Setelah jeda sesaat Master melanjutkan.]
Rumi: Itulah ganjaran mereka dunia. Ganjaran di akhirat siapa yang tahu. Kalau Rabb-SWT memberikan azab maka itu pantas karena mereka itu hamba-Nya; kalau Dia mengampuni mereka maka itu bisa saja karena Dia Maha Pengampun[1].
Murid: Tetapi master kan bukan jenderal, pejabat negara atau pengusaha. Saya yakin anak Master tidak akan seperti anak-anak para pembesar itu. Jadi, kekhawatiran Master bagi saya berlebihan.
[Dilihatnya masternya hanya diam si murid melanjutkan.]
Murid: Saya menyaksikan pengajian Master semakin membeludak, halakah zikir Master semakin ramai, dan nasehat Master selalu diperhatikan para penguasa kekhalifahan. Jadi, saya tetap berpendapat kekhawatiran Master mengenai anak berlebihan…
[Murid kaget ketika masternya merespons dengan nada sengit…]
Rumi: Semua yang Engkau kemukakan itu tidak relevan! Engkau kira ayat yang Aku bacakan tadi tidak berlaku bagiku. Engkau kira Aku sanggup mengontrol jiwaku yang sepenuhnya di bawah kendali “jari”-Nya? Bagaimana kalau Dia menyusupkan sifat ria dalam jiwaku ketika aku berdakwah? Bagaimana kalau Dia menyisipkan sifat sok-suci[2] ketika aku memimpin jamaah zikir? Bagaimana kalau Dia menghidupkan dalam diriku sifat gila-hormat ketika menasihati para pembesar kekhalifahan?
[Rumi melanjutkan setelah menarik nafas sesaat, masih sengit.]
Rumi: Engkau ingat ini. Yang relevan adalah kebersihan sumber nafkah keluarga. Jadi, tantangannya adalah memastikan sumber itu terbebas dari jeratan syubhat[3] apalagi haram. Engkau kira ini soal enteng?
[Melihat muridnya diam-menunduk akhirnya Rumi melunak.]
Rumi: Yang penting, renungkanlah ayat yang Aku bacakan tadi. Itu PR-mu. Itu serius.
Murid: Siap, master.
[Sesampainya di rumah Murid membuka mushaf dan mencari ayat yang dimaksudkan oleh masternya. Ia setuju dengan masternya: “ancaman” ayat itu (Quran 64:14) serius:
Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istri dan anak anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah terhadap mereka; dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka) maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
َـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّ مِنْ أَزْوَٰجِكُمْ وَأَوْلَـٰدِكُمْ عَدُوًّۭا لَّكُمْ فَٱحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِن تَعْفُوا۟ وَتَصْفَحُوا۟ وَتَغْفِرُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌۭ رَّحِيمٌ
Wallahualam bimuradih….@
[1] Quran (5:119).
[2] Sok-suci atau menganggap diri suci (Arab: tuzakku), (Quran 53:32).
[3] Perbuatan yang status hukumnya abu-abu antara halal dan haram.