Tazakka, Tuzakku dan Kesucian Hati

Kata hati dalam judul merujuk bukan pada sesuatu yang bersifat fisik, melainkan pada– meminjam istilah KH Zezen— “dimensi keilahian dalam diri manusia”. Kata tazakka dan tuzakki (Arab) adalah istilah  qurani yang berbicara mengenai kesucian hati dalam pengertian itu. Yang menarik, dua kata ini berakar kata yang sama (zaka) tetapi memiliki konotasi yang bertentangan: sementara yang pertama positif, yang kedua negatif bahkan tercela. Tulisan ini menelusuri dua kata ini dalam Al-Quran dalam kaitannya dengan kesucian hati. Sebelumnya, berikut adalah analisis bahasa dua kata ini secara singkat.

Kaya Makna

Bahasa Arab kaya makna dengan aturan kebahasaan yang rumit: perubahan bentuk kata atau tanda baca dapat mengubah makna dasar radikal.

Kata zaka adalah kata kerja yang berarti membersihkan, menyucikan, memberikan berkah, menyuburkan, dan mengembangkan. Kata ini dapat dirangkai dengan kata lain secara luas. Sebagai ilustrasi, jika dirangkai dengan kata tanaman dan perniagaan, kita memperoleh kalimat zaka azzar’i berarti “tanaman yang tumbuh subur, sementara zaka attijarah berarti perniagaan yang tumbuh dan berkembang.

Dengan makna ini mudah bagi kita untuk memahami kata zakat yang juga dari kata zaka berkonotasi menyuburkan harta selain membersihkan hati. Membersihkan dari apa? Dari Syuh, potensi kekikiran yang melekat dalam bakat manusia (lihat QS 59:9).

Ayat Tazakka

Dalam Bahasa Arab, huruf ganda (tasydid) mengindikasikan kesungguhan. Jadi, huruf ganda “k” dalam kata tazakka tidak sekadar berarti “menyucikan”, tetapi “menyucikan secara sungguh-sungguh, secara serius, tidak hanya sekadarnya”.

Kata tazakka tercantum paling tidak dalam empat ayat Al-Quran yang digunakan dalam berbagai konteks. Untuk memperoleh gambaran mengenai arti dan konteks penggunaannya, berikut disajikan terjemahan dan catatan dari empat ayat yang dimaksud.

Terjemahan Catatan
QS (20:75-76): …. mereka itulah yang memperoleh derajat yang tinggi (mulia) (yaitu) surga-surga Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah balasan bagi orang-orang yang menyucikan diri. Kebersihan hati dari dosa (teks: mujrima) yang menyebabkan memperoleh azab akhirat dalam keadaan yang tidak hidup maupun tidak mati (ayat ke-75).
QS (35:18): … Dan orang-orang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain… Dan barang siapa menyucikan diri, sesungguhnya dia menyucikan diri untuk kebaikan sendiri…. Prinsip pertanggungjawaban individual. Menyucikan diri adalah kegiatan individual, tidak berlaku “kriteria orang ketiga”; artinya, tidak seorang pun dapat melakukannya untuk dan atas nama kita.
QS (79:18): Maka katakanlah (kepada Fir’aun): “Adakah keinginanmu untuk membersihkan diri (dari kesesatan?”
QS (87:14): Sesungguhnya beruntung orang yang menyucikan diri (dengan beriman).

Ayat Tuzakku

Kata tuzakku juga mengandung huruf “k” ganda yang mengkonotasikan kesungguhan. Berbeda dengan kata tazakka berkonotasi positif, kata tuzakku berkonotasi negatif bahkan tercela. Arti kata ini, “menganggap dirimu suci”, atau dalam bahasa gaulnya, “sok suci”.

Sejauh penelusuran penulis (melalui aplikasi Lafzi) hanya ada satu ayat yang mencantumkan kata tuzakku yaitu QS (53:32). Ayat ini mengandung pelajaran yang sangat penting sehingga perlu ditinjau secara agak rinci.

Ayat sebelumnya (ke-31) berbicara mengenai “balasan orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga”). Ayat ke-32 menjelaskan apa yang dimaksud dengan orang yang berbuat baik. Inilah teks ayat yang dimaksud serta artinya:

“(Yaitu) mereka yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji, kecuali kesalahan-kesalahan kecil (teks: allamam). Sungguh Tuhan Maha Luas amnpunan-Nya. Dia mengetahui tentang kamu sejak Dia menjadikan kamu dari tanah, lalu ketika kamu masih janin dalam perut ibumu. Maka janganlah menganggap dirimu suci. Dia mengetahui orang yang bertakwa (QS 53:32).

Dalam ayat ini ada kata menarik yaitu allamam yang berarti “kesalahan-kesalahan kecil”. Berdasarkan ayat ini, “kesalahan-kesalahan kecil” tidak menggugurkan status “orang yang berbuat baik”. Ayat ini juga mengesankan pesan kuat: jangan “sok bersih” karena melihat orang lain melakukan kesalahan-kesalahan kecil. Wallahualam.

Bahtera Nuh

Terkait dengan pemurnian hati layak dicermati karya Hamza Yusuf (lahir 1958) yang berjudul Purification of the Herat: Signs, Symptoms and Cures of the Spriritual Diseases of the Heart. Dia adalah salah seorang cendekia muslim Amerika Serikat yang mengusung pengajaran klasik mengenai Islam dan sains keislaman ke seluruh dunia.

Dalam bukunya ini Hamza Yusuf mengedepankan arti penting zikir untuk membersihkan hati. Yang menarik, dalam bukunya ini, ia juga menganalogikan zikir dengan bahtera Nuh AS:

We live in the age of Noah (a.s.) in the sense that a flood of distraction accosts us. It is a slow and subtle drowning. For those who notice it, they engage in the remembrance of God. The rites of worship and devotion to God’s remembrance (dhikr) are planks of the ark. When Noah (a.s.) started to build his ark, his people mocked him and considered him a fool. But he kept building. He knew what was coming. And we know too.

Kita hidup di zaman Nuh (a.s.) dalam arti menghadapi prahara banjir besar. Lambat laun dan tidak kentara kita tenggelam. Bagi mereka yang menaruh perhatian, mengingat Allah atau zikir dan zikir berfungsi sebagai bahtera penyelamat ketika bahtera itu berlangsung. Nuh AS ketika mulai membangun bahtera itu ia diejek dan dianggap bodoh. Tetapi dia terus membangunnya. Dia tahu apa yang akan terjadi. Kita juga tahu.

Bahtera Nuh AS dahulu kala adalah zikir masa kini. Pertanyannya: “Apakah kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS 6:80, 10:3, 11:24, 11:30, 16:17, 23:85, 37:155, 45:23).

Wallahualam…@

Contact: uzairsuhaimi@gmail.com

 

Mengenang Perjuangan Siti Hajar RA

Dia sangat cemas mendapati bayinya kelaparan dan gejala dehidrasi karena tidak memperoleh pasokan air susu ibu. Bergegas dia mendaki bukit itu dengan susah-payah karena kurang tenaga akibat kelaparan dan kehausan. Harapannya dari ketinggian itu dia dapat meihat orang lain untuk dimintai pertolongan: harapan yang sia-sia, tidak seorang pun terlihat dari sana.

Kecemasannya meningkat. Segera dia mengerahkan sisa tenaganya dan berlari lari kecil (Arab: sa’i) untuk mencapai bukit lain tetapi juga tidak terlihat ada siapa pun dari sana.  Tetapi ajaibnya, tenaganya sedikit pulih sehingga dia bergegas kembali ke bukit semula tetapi tetap saja tidak melihat ada orang.

Demikianlah ia bolak-balik di antara dua bukit itu, Bukit Shafa Marwa dan Bukit Marwah, sampai tujuh putaran.

Kecemasan memuncak ketika ingat bayinya di bawah sana. Ia segera turun dari Marwah dengan mata berkunang-kunang dan menemukan bayinya dalam keadaan hampir sekarat. Ia merasa berhalusinasi ketika melihat malaikat dekat bayinya itu dan bahkan sempat bertanya kepada malaikat adakah yang dapat dia lakukan untuk menolongnnya.

Tiba-tiba ia melihat malaikat itu menyepak tanah dengan tumitnya; akibatnya, “muncul air dari tanah yang menyebar ke segala arah”[1]. Dengan luapan kegembiraan dan susah payah ia menggunakan tangannya menggali kubangan sehingga terciptalah sumur, Sumur Zamzam. Segera ia meminum air sumur itu dan hasilnya luar biasa: kelelahannya segera pulih, juga air susunya sehingga “Ismail AS terhindar dari kematian” [2].

Keterasingan mereka di lembah itu juga berakhir dengan kedatangan suku Yohamit yang ternyata keturunan dari sepupu jauh Ibrahim AS. Suku ini meminta izin secara takzim kepada Hajar RA untuk tinggal di Mekah dan disetujui dengan syarat mengakui kepemilikan Hajar RA-Ismail AS atas Sumur Zamzam[3].

Demikianlah kira-kira kisah sejarah singkat perjuangan Siti Hajar RA menurut versi Dirk[4].

Lembah Baka

Lembah Baka (sekarang Mekah) tidak berpenghuni tetap, sesekali ditinggali karavan yang berlalu, dan difungsikan sebagai pasar musiman. “Penghuni” tetapnya adalah kucing liar, hiena, rubah, rusa, dan tikus kanguru[5]. Lembah itu juga terisolir karena dikelilingi oleh pegunungan Sirat dengan sejumlah puncak antara lain Jabal Ayjad (410 m), Jabal Abu Qubais (375 m), dan Jabal Hira (640 m)[6].

Kondisi geografis semacam itu, ditambah faktor tanahnya yang gersang, membuat orang enggan tinggal menetap di sana. Jadi, wajarlah jika Hajar RA tidak bertemu orang ketika berlari-lari kecil itu. Yang tidak wajar– dalam ukuran manusiawi– adalah kenapa beliau sampai berada di tempat itu.

Kepergian Hajar RA dan bayinya ke Mekah dilakukan karena diusir dari Hebron (Palestina) oleh Sarah AS, istri pertama Ibrahim AS. Jarak Hebron-Mekh sekitar 1,200 kilometer. Tapi rute yang perjalanan itu tidak lurus sehingga jarak tempuh rombogan Hajar AS yang sesungguhnya diperkirakan sekitar 40 hari perjalanan onta[7];  ini jelas suatu perjaanan berat apalagi bagi bayi.

Sumber Gambarini

Monolog Hajar RA

Karena perjalanan yang berat itu maka wajar jika Dirks menduga sang bayi agak rewel (maksudnya mungkin sakit) setibanya Mekah; juga ketika sang ayah harus meninggalkannya. Harus meninggalkannya? Ya, sesuai perintah-Nya. Dia meninggalkan mereka “di bawah pohon”, setelah menyerahkan “tempat air” dan “tas kulit berisi kurma”[8]. Hanya itulah peninggalan Ibrahim AS.

Sebelum menjauh dari pohon itu, terjadilah “monolog” Hajar RA[9]. (Monolog karena lawan bicaranya hampir tidak mampu mengucapkan kata apa pun dan itu manusiawi!)

“Wahai Ibrahim, engkau akan pergi ke mana? Apakah Kamu akan meninggalkan kami di lembah ini, di mana tidak ada seorang pun teman atau apa pun?”

[Tidak ada jawaban.]

“Apakah Allah memerintahkan berbuat demikian?”

[Ibrahim AS memberikan isyarat mengiyakan.]

“Wahai Ibrahim, kepada siapa engkau meninggalkan kami?”

[Kepada Allah SWT, sahut Ibrahim AS.]

“Aku Rido bersama Allah”, respons Siti Hajar RA.

Ibrahim AS melanjutkan perjalanan tanpa berkata atau menengok ke belakang. Setelah istrinya tidak lagi terlihat, Ibrahim AS berdoa:

Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagai keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanaman-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah), ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan salat, maka jadikanlah sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berikanlah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur (QS 14:37).

Ibrahim AS berdoa agar keluarganya yang ditinggalkan itu diberikan rezeki “buah-buahan”, tetapi dilihat dari redaksi ayat, itu bukan keprihatinan utamanya. Keprihatinan utamanya adalah diri dan keluarganya menjadi orang yang “melaksanakan salat”.

*****

Kisah Siti Hajar RA ketika berlari-lari kecil itu diabadikan dalam ritual sa’i (artinya, lari-lari kecil), bagian dari ibadah haji. Melaksanakan ritual ini hukumnya wajib. Status hukum ini menunjukkan signifikansi ritual sa’i; jadi juga signifikansi kisah Siti Hajar RA.

Untuk membayangkan signifikansinya ini bandingkan dengan ritual penyembelihan hewan kurban yang hukumnya sunah atau anjuran, termasuk ketika melaksanakan haji. Ini adalah pendapat jumhur ulama, khususnya Imam Syafii.

*****

Hikmah Kisah

Apa hikmah di balik kisah ini? Antara lain berikut ini:

  • Bagi para ustaz (ustazah), substansi kisah ini layak dijadikan topik penting ketika berceramah mengenai haji atau mengajarkan manasik haji. Sejauh pengalaman penulis, topik ini jarang tersentuh.(Mudah-mudahan penulis keliru!)
  • Bagi ibu-ibu, keberanian dan kemandirian nenek moyang Nabi SAW ini layak diteladani. Juga sikapnya menerima pemberian suami tanpa banyak menuntut.
  • Bagi yang mengaku beriman, kepasrahannya secara total kepada-Nya wajib diteladani. Kalimat terakhir monolognya “Aku Rido bersama Allah” layak direnungkan.

Wallahualam…@

[1] Dirks (2002:133), Ibrahim Sang Sahabat Tuhan, Serambi. Nama lengkap Dirks adalah Haji Abu Yahya Jerald F. Dirks, Psy D Abu Alenda. Dia masuk Islam 1993; sebelumnya berprofesi sebagai pendeta resmi Gereja Metodist Bersatu. Dirks menguasai sejarah Ibrahim AS bersumberkan tradisi Yahudi, maupun Kristen dan Islam. Tetapi mengenai buku ini ia mengaku lebih mengandalkan sumber-sumber Islam (Hadits).

[2] Ibid, halaman 134.

[3] Ibid, halaman 134-135.

[4] Ibid.

[5] Ibid, halaman 128.

[6] Ibid, halaman 127.

[7] Ini tidak berati rombongan Hajar AS melakukan perjalanan menggunakan onta karena masih perlu satu milenium lagi untuk sampai pada era ketika onta dapat dijinakkan Ibid, halaman 127-8.

[8] Ibid, halaman 129.

[9] Ibid, halaman 130.

Contact: uzairsuhaimi@gmail.com

 

Simbolisme Haji: Belajar dari Syariati

Kini jamaah haji tengah berada di Arafah, suatu wilayah terbuka di timur luar Kota Mekah. Di sana, sekitar 2.3 juta jamaah berkumpul untuk wukuf, salah satu rukun haji.

An aerial view of Mount Arafat, where thousands of Muslim worshippers gather during the Hajj pilgrimage. EPA

Sumber: Ini

Jamaah sudah harus meninggalkan Arah sebelum malam, bergerak ke Mudalifah untuk “bermalam” (di sini ada bukit kecil yang disebut sebagai Masy’aril Haram dalam Al-Quran), sebelum akhirnya sampai di Mina untuk tinggal 2-3 hari di sana. Ketika di Mina inilah jamaah melakukan Jumrah (lempar batu) dan menyembelih hewan korban (umumnya diserahkan kepada Panitia Haji). Dari Mina Jamaah kembali ke Kabah untuk Tawaf Ifadah (Rukun Haji).

Kenapa jamaah melakukan semua itu? Jawaban singkatnya, karena itulah yang dicontohkan Nabi SAW: tindakan jamaah adalah perwujudan kepatuhan kepada ajaran yang dibawanya, tanpa bertanya kenapa? (Arab: bila kaifa).

Terlepas dari soal kepatuhan, semua ritual haji sebenarnya mengandung banyak hikmah atau simbolisme yang layak direnungkan. Salah satu rujukan mengenai ini adalah karya-karya Ali Syariati (1933-1977) mengenai Haji. Beliau adalah seorang sosiolog (ideolog) revolusioner Iran yang sangat dihormati karya-karyanya di bidang sosiologi agama dan masyhur sebagai seorang cendekiawan Iran abad ke-20.

Bagian selanjutnya tulisan ini meninjau secara singkat sebagian kecil dari simbolisme yang dimaksud sebagaimana dikemukakan oleh Syariati dalam salah satu karyanya [1].

Filsafat Hampa

Bagi Syariati ibadah haji adalah bentuk penolakan terhadap filsafat hampa (rejection of an empty philosophy). Kenapa? Karena sehari-hari kita cenderung kehilangan tujuan. Tujuan kita hanya untuk hidup dan apa yang ada dalam tubuh kita yang hidup adalah jiwa yang mati. Baginya itu adalah kondisi yang tidak sehat dan pengalaman haji dapat mengubah kondisi tidak sehat ini. Selanjutnya Syariati mengatakan ini:

Haji adalah antitesis dari ketiadaan tujuan. Ini adalah pemberontakan melawan nasib terkutuk yang dipandu oleh kekuatan Setan. Pelaksanaan Haji akan memungkinkan Anda melarikan diri dari jaringan kerumitan yang kompleks. Tindakan revolusioner ini akan mengungkapkan kepada Anda cakrawala yang jelas dan cara bebas untuk bermigrasi ke keabadian, kepada Allah SWT.

Hajj is the antithesis of aimlessness. It is a rebellion against a damned fate guided by the evil force. The fulfillment of Hajj will enable you to escape from the complex network of fuzzles. This revolutionary act will reveal to you the clear horizon and free way to migration to eternity to the Almighty Allah.

Ibadah Haji dimulai dari miqat, tempat yang sejak era Nabi SAW sudah ditentukan untuk tujuan itu . Di sanalah jamaah menegaskan niat untuk memulai ibadah haji, mengenakan pakaian ihram, serta melepaskan semua pakaian sehari-hari.

Simbolisme Pakaian

Bagi Syraiati ritual melepaskan pakaian sehari-hari kaya dengan simbolisme. Argumennya, kita sehari-hari hakikatnya tidak mengenakan pakaian, tetapi dengan pakaian kita membungkus diri kita yang sebenarnya.

Pakaian kita, lanjutnya, menyimbolkan (simbolizes), memolakan (patterns), dan membedakan (distincts). Pakaian kita menciptakan batas semu (superficial border) yang menyebabkan keterpisahan antar manusia. Dalam kebanyakan kasus, keterpisahan ini melahirkan diskriminasi. Lebih lanjut, lahirlah konsep “Aku”, bukan “Kita”. “Aku” diletakkan dalam konteks sukuku, margaku, keluargaku, posisiku, keluargaku, dan seterusnya; bukan “Aku” sebagai manusia (human being).

Manusia terdiri dari ras, bangsa, kelas, sub-klas, kelompok, dan marga. “Untuk apa?”, tanya Syariati. Untuk menunjukkan “ones-self-but under so much make-up”, jawabnya sendiri. Selanjutnya dia mengatakan ini:

Sekarang bukalah pakaian Anda. Tinggalkan semuanya di miqat. Kenakan Kafan yang terdiri dari bahan putih polos. Anda akan menjadi seperti orang lain. Lihatlah keseragaman tercipta! Jadilah partikel dan menyatulah dengan massa; jadilah setetes air dan masukilah lautan.

Now take off your clothes. Leave then at miqat. Wear the Kafan which consists of plain white material. You will be like everyone else. See the uniformity appear! Be a particle and joint the mass; as drop, enter the ocean.  

Kita dapat merasakan kuatnya bahasa Syariati. Pantaslah jika dia hidup dari satu penjara ke penjara lain karena penguasa pada masanya merasa sangat “gerah” dengan ide-idenya yang revolusioner dan mengancam status quo.

Demikianlah gambaran singkat simbolisme Haji menurut Syariati. Baginya Arafah berasosiasi dengan Pengetahuan dan sains,  Ma’syar atau Muzdalifah dengan Kesadaran dan pemahaman, Mina dengan Cinta dan Iman. Pengetahuan-Kesadaran-Cinta. Trilogi inilah yang dibutuhkan dalam perjalanan untuk menghampiri-Nya yang dilambangkan dengan kembalinya jamaah dari Mina ke Kabah untuk Tawaf Ifadah.

Wallahualam…@

[1] Hajj (the Pilgimage), terjemahan Inggris oleh Ali A. Behzadnia MD & Najla Denny.

Contact: uzairsuhaimi@gmail.com

 

Memahami Tragedi Dayton dan El Paso

Baru-baru ini di Amerika Serikat (AS) terjadi dua tragedi kemanusiaan dalam bentuk penembakan masal: di Distrik Dayton (Ohio) dan di Kota El-Paso (Texas), kota dekat perbatasan AS-Meksiko. Tragedi pertama terjadi 4/8/19  dengan korban 9 jiwa meninggal dan 27 orang terluka. Ini adalah tragedi yang ke-251 di negara ini: jadi, angka per harinya lebih dari sekali. Belum diketahui motif pelaku penembakan masal ini sehingga FBI menyebutnya terorisme domestik (domestic erorism); artinya, tidak diketahui adanya kaitan dengan ideologi tertentu yang mendasari tindakan pelaku penembakan.

Bagaimana dengan tragedi ke-2? Peristiwanya terjadi satu hari sebelumnya (3/8/19) dan berlangsung kurang dari setengah menit. Korbannya lebih besar: 22 jiwa tewas dan paling tidak 26 korban luka. Tersangka pelaku penembakan adalah Patrick Crusius (21)

Tragedi yang ini diduga sebagai wujud kebencian etnis. Ada dua catatan yang mendukung dugaan ini. Pertama, peristiwanya terjadi beberapa menit setelah dirilis posting “manifesto anti-imigran yang penuh kebencian”.  Kedua, target penembakan terkesan terarah pada kelompok migran khususnya asal Mexico. Karena alasan ini pihak Mexico meminta agar pihak AS menunjukkan ketegasan sikap mengenai soal ini, bahkan mengupayakan memeprmasalahkan secara hukum.

Mae Zaragoza embraced a visitor to the memorial for victims of the shooting in El Paso on Tuesday. “I really thought we were safe in our own little bubble, but someone came to our little island,” she said.

Sumber Gambar: Ini

Kenapa Terjadi?

Banyak pihak yang mencoba menjawab pertanyaan kenapa tragedi semacam itu sampai terjadi. Kita dapat mulai dari respons Presiden Trump. Kenapa Trump? Karena dialah yang kini memegang megaphone di negara ini: pendapatnya– bahkan pemilihan kata yang diucapkan– berpengaruh luas, bukan saja secara nasional, tetapi juga secara global. Lebih dari itu, dia juga bos cabang eksekutif di AS sehingga memiliki sumber daya yang besar untuk melakukan tindakan preventif jika ada kemauan politik.

Apa penjelasan Sang Presiden mengenai tragedi ini? Sederhana saja: “sakit mental” (mental illness). Agaknya tidak ada yang menolak pendapat ini. Pertanyaannya, apakah isunya sederhana itu? Respons ini dinilai tidak logis: tidak ada bukti prevalensi penyandang penyakit mental di AS unik dalam arti berbeda dengan negara-negara maju lainnya: Kanada, Eropa, Australia, New Zealand, Jepang, atau Korea. Di negara-negara ini tragedi penembakan masal sangat jarang atau tidak pernah terjadi.

Trump memperbaiki penjelasannya dengan menambahkan faktor internet dan Video Games sebagai pemicu tragedi. Kembali, dua faktor ini tidak khas AS. Tetapi ada yang perlu dicatat: dua faktor ini semakin populer Indonesia. Jadi, Indonesia, waspadalah!

Karena desakan banyak pihak, Trump memperbaharui penjelasannya dengan menambah faktor kebencian etnis, kefanatikan dan supremasi kulit putih. Ini tentu kemajuan. Sayangnya, tiga faktor ini dinilai tidak konsisten dengan retorika Trump sejak era kampanye presiden.

Singkatnya, penjelasan Sang Presiden tidak banyak pendukung. Ini juga terlihat dari sambutan protes masa ketika dia berkunjung ke Dayton dan El Paso yang baru saja berlalu. Alih-alih, dia menjadi sasaran kritik banyak pihak, khususnya dari dari para politisi Demokrat, lebih khusus lagi dari para kandidat presiden AS mendatang. Dalam konteks ini mungkin sebaiknya dia mendengarkan “nasehat” Presdiden Rouhani agar fokus pada urusan dalam negerinya sendiri.

Yang menjadi pusat kritikan adalah keengganan Presiden menyebut faktor pengawasan kepemilikan senjata sebagai faktor kunci yang menjelaskan kerapnya tragedi penembakan masal. Bagi kebanyakan pihak, justru inilah faktor kunci. Penilaian ini memperoleh dukungan empiris: banyak negara maju yang berhasil meredam tragedi penembakan masal dengan memperkuat pengawasan kepemilikan senjata. Australia dan New Zealand adalah contohnya.

Kenapa Presiden tidak menyebut faktor ini sama-sekali? Alasannya sederhana: limpahan uang dari NRA– asosiasi penjual senjata utama di AS– mampu membungkam banyak politisi. Jadi inilah hikmah bagi para politisi atau pejabat publik: kekuatan pemegang uang dapat membungkam.

Yang juga menjadi pusat kritik terhadap Trump adalah retorika Sang Presiden yang dinilai banyak kalangan mendorong perpecahan dalam internal masyarakat AS serta menghidup-suburkan ideologi fanatik dan supremasi kulit putih.

Penyelsaian

Fenomena penembakan masal adalah masalah kompleks sehingga sebaiknya kita serahkan kepada ahli untuk menjelaskannya. Yang pasti fenomena ini adalah tragedi kemanusiaan yang mendesak upaya penyelesaian kuratif dan preventif. Tatapi apakah bentuk penyelesaiannya?

Penulis tidak memiliki kapasitas untuk menjawab pertanyaan ini serta memberikan saran penyelsaian jangka pendek-menegah. Walaupun demikian, mengenai penyelesaian jangka panjang, dalam pikiran penulis terlintas ini: sosialisi Aturan Emas (Golden Rule) kepada anak bangsa sejak dini. [Kata sosialisai di sini perlu dikembalikan kepada makna dasarnya yaitu proses penanaman nilai-nilai, bukan  pengumuman sebagaimana diartikan secara populer.] Kenapa Aturan Emas? Karena Aturan Emas bersifat universal dalam arti diakui oleh penganut semua agama, tradisi, dan penganut kepercayaan, ateis, bahkan agnostik; sejauh waras tentunya.

Bagi yang lupa, Aturan Emas  adalah “prinsip memperlakukan orang lain seperti halnya Anda ingin diperlakukan”. Atau, jika diungkapkan secara negatif: “Apa yang tidak Anda inginkan bagi Anda, jangan lakukan itu kepada orang lain”. Inilah kira-kira ajaran Konghucu yang terungkap dalam kalimat ini:

Sosialisasi Aturan Emas idealnya mulai digalakkan pada usia dini, mulai dari usia play group. Idealnya aturan ini menjadi mainstream pelajaran moral, agama dan kewarganegaraan dalam arti menjiwai substansi pelajaran-pelajaran itu. Sosialisasi ini penting kecuali kita tidak tertarik pada ide pembangunan karakter bangsa yang berakhlak mulia, atau tidak peduli pada kemungkinan tumbuh-subur kemampuan laten manusia untuk merusak dan menumpahkan darah sebagaimana dikhawatirkan para malaikat. Mengenai yang terakhir ini silakan rujuk  QS (2:30).

Wallahualam…@

Contact: uzairsuhaimi@gmail.com

 

Perlukah Ibukota Negara Kita Dipindahkan?

Kabarnya, ibukota negara kita akan dipindahkan ke Luar Jawa. Kabar ini disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam beberapa kesempatan. Juga oleh Pak Bambang Bojonegoro dalam beberapa kesempatan wawancara dengan media televisi, termasuk dengan BBC. Yang kedua ini menarik karena informannya Menteri PPN/Ketua Bappenas dengan latar belakang ahli ekonomi perencanaan kota. Yang dikemukakannya tentu bukan sesuatu yang masih wacana atau dalam kajian, melainkan sesuatu yang sudah meruapakan keputusan politik dan bahkan mungkin sudah dalam persiapan implementasi.

Salah satu argumen dari keputusan politik ini, Pulau Jawa ke depan tidak akan lagi memiliki kapasitas tampung untuk mendukung kegiatan pusat pemerintahan nasional. Argumen ini jelas tetapi masih sah bagi kita yang memiliki jangkauan visi terbatas untuk bertanya mengapa harus pindah. Penulis tidak bermaksud menjawab pertanyaan besar ini secara langsung. Alih-alih, melalui tulisan ini, penulis mencoba menjawab pertanyaan: “Bagaimana skenario demografis di masa mendatang dan implikasinya bagi kawasan Jakarta dan sekitarnya, jika status quo dipertahankan?” [Artinya, tidak ada perpindahan ibukota negara.]

Tiga Kali Lipat

Berbicara mengenai skenario berarti berbicara masa depan yang idealnya berbasis ilmiah. Pertanyaan dasarnya kira-kira berapa jumlah penduduk di kawasan Jakarta dan sekitarnya 10, 20, atau 50 tahun ke depan, misalnya. Kawasan yang dimaksud adalah Jakarta dan kabupaten/kota tetangganya: Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Tangerang, kabupaten dan kota Bekasi, Kota Depok, dan kabupaten serta kota Bogor. Wilayah-wilayah ini perlu dipertimbangkan karena sebagian penduduknya secara de facto adalah penduduk siang Jakarta.

Untuk menjawab pertanyaan ini kita dapat menggunakan dua angka proyeksi penduduk sebagai basis, menghitung  angka rata-rata pertumbuhan  per tahun (=r) berdasarkan dua nagka itu, dan mengektrpolasi ke depan berdasarkan angka r. Secara demografis ini mungkin agak kasar tetapi itulah yang dapat dilakukan saat ini untuk keperluan tulisan ini.

Menurut sumber data resmi[1], proyeksi penduduk di kawasan Jakarta dan sekitarnya pada tahun 2015 dan 2018, masing-masing 24.8 dam 26.4 juta. Berdasarkan dua angka ini kita memperoleh angka r=0.021 yang dengannya kita dapat mengekstrapolasi jumlah penduduk 50 tahun ke depan (=2068). Hasilnya, penduduk kawasan pada 2068 diperkirakan akan mencapai angka 75.8 juta atau hampir tiga kali jumlah penduduk 2018. Tabel di bawah ini mengilustrasikan bagaimana angka itu diperoleh.

Kapasitas Daya Dukung

Yang perlu dicatat, perhitungan pada tabel berdasarkan model pertumbuhan eksponensial, model yang berlaku bagi manusia dan organisme lain, termasuk kelinci dan kerbau, misalnya[2]. Secara teknis demografis, model ini tergantung kepadatan (density dependent); artinya, model ini tidak realistis diterapkan pada suatu keadaan ketika kepadatan sudah mendekati batas maksimum kapasitas daya dukung (carrying capacity), kemampuan habitat untuk menyediakan sumber kehidupan bagi  organisme yang hidup di dalamnya.

Sumber Gambar: Google

Batas maksimum yang dimaksud  dapat dibayangkan sebagai limit atau garis asimtot yang hanya dapat didekati tapi tidak dapat dilampaui. Dalam konteks ini berlaku rumus umum bagi semua organisme: sekain dekat dengan batas maksimum itu, semakin keras kompetisi untuk mengakses sumber daya hidup: makan, air, pemukiman, dan sebagainya.

Sejauh ini kita tidak memiliki garis asimtot yang dimaksud. Dugaan penulis, kondisinya akan dicapai pada tahun 2030 (tahun target SDG) ketika penduduk di kawasan ini mencapai jumlah 34 juta. Juga dugaan penulis, setelah tahun itu pertumbuhan di kawasan ini akan dipaksa mengikuti model logistik atau model lain yang memiliki unsur garis asimtot.

Implikasi Kepadatan

Dengan penduduk 75.8 juta (2068), kawasan Jakarta dan sekitarnya pasti sangat padat. Implikasinya luas dan negatif bagi kualitas hidupan masyarakat, termasuk: (1) interaksi antar manusia semakin intens yang berarti mempermudah penyebaran penyakit, (2) sampah rumah tangga warga akan meningkat dan ini berarti kerusakan lingkungan hidup serta meluasnya sumber kontaminasi minuman-makanan, dan (3)  jumlah “predator” akan meningkat karena demikian mudahnya mencari “mangsa”. Yang terakhir ini bukan mengada-ngada tetapi berlaku umum bagi semua organisme.

Kita dapat memperpanjang daftar implikasi negatif kepadatan penduduk: kemacetan lalu lintas semakin parah, polusi udara yang semakin memburuk, kualitas pemukiman dan lingkungan hidup yang semakin memprihatinkan, persaingan di pasar kerja semakin keras, dan besarnya kebutuhan listrik dan air bersih akan semakin membesar.

Terkait dengan kerasnya persaingan di pasar kerja khususnya di kalangan penduduk usia muda yang semakin terdidik, gejalanya berlaku hampir universal. Fenomena ini memicu timbulnya frustasi di kalangan penduduk usia muda, mendorong tindakan kriminal, diharmonisasi sosial, dan bahkan pembangkangan publik terhadap otoritas yang sah. Hemat penulis, itulah salah satu latar belakang timbulnya Arab Spring di kawasan Arab dan Afrika Utara, juga menguatnya politik yang bernuansa supremasi kulit putih dan ultra-nasionalis di Amerika Serikat dan Eropa.

Bagaimana dengan masalah kebutuhan air bersih? Yang pasti masalah ini menentukan kualitas hidup masyarakat. Tetapi seberapa serius masalah ini menurut skenario kita di atas? Ini gambarannya. Menurut Ditjen Cipta Karya (2006), kebutuhan air bersih Liter/Orang/Hari (OLH) adalah 120-150 liter untuk wilayah yang berpenduduk di atas satu juta jiwa[3]. Katakanlah, untuk mudahnya, kebutuhan itu 120 OLH. Jika angka di scaled up untuk 75,8 juta jiwa maka kebutuhan air bersih per hari sekitar 9.1 milyar OLH. Siapa mampu?

*********

Pindah ibukota ke Luar Jawa itu perlu. Visinya jelas. Argumennya, masuk akal untuk menghindari implikasi negatif terlalu padatannya  penduduk di kawasan Jakarta dan sekitarnya. Juga untuk menjauhi wilayah Sunda Mega thrust?[4] Singkatnya, rencana pindah ini justified.

[1] Website BPS Jakarta dan BPS Jawa Barat.

[2] Pertumbuhan populasi kelinci dan kerbau di Australia konon pernah mengancam kelangsungan hidup binatang lokal karena menghabiskan hampir semua sumber daya vital bagi binatang yaitu rumput dan air. Predator alamiah tidak menghentikan sehingga mengundang campur tangan supra-predator; yakni, manusia.

[3] Lihat ini.

[4] Wilayah ini rawan terpapar gempa sangat besar (mega). Wilayahnya memanjang sekitar 5.500 Km dari Myanmar di utara, membentang di sepanjang sisi barat daya Sumatra, ke selatan Jawa dan Bali sebelum berakhir di dekat Australia (lihat ini)

Contact: uzairsuhaimi@gmail.com